SNMPTN 2013 Hanya Bersifat Subyektif & Tidak Lebih Baik

DILEMA kini mewarnai Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bagaimana tidak, SNMPTN yang telah disahkan oleh UU No.34 Tahun 2010 ini hanya akan membuka sistem seleksi melalui jalur undangan saja. Dengan demikian, otomatis jalur penerimaan melalui tes tertulis akan dihapuskan. Tentu saja hal ini sangat mengundang pro dan kontra diantara masyarakat, khususnya para siswa.

Mungkin ada sedikit hal yang perlu diapresiasi terhadap SNMPTN kali ini, yakni biaya pendaftaran yang digratiskan oleh pemerintah. Namun, tetap saja terdapat kecemasan di mata para siswa mengenai hal ini, mengingat tidak semua siswa mendapat hasil yang baik pada nilai rapor. Beberapa siswa mungkin memiliki kesempatan yang cukup besar karena nilai rapornya baik, tapi bagaimana dengan siswa yang biasa-biasa saja? Atau siswa yang sebenarnya pintar namun kalah bersaing akibat “akreditas” yang dimiliki oleh SMAnya?

 
Pemerintah mungkin harus benar-benar mengkaji serius terhadap kebijakan ini. Sistem seleksi yang hanya dilakukan melalui seleksi nilai rapor sebenarnya tidaklah cukup baik dan hanya akan bersifat subyektif. Nilai raport yang dimiliki oleh siswa bukanlah satu-satunya hal yang dapat memutuskan di dapat masuk atau tidak di dalam PTN.
 
Pada kenyataannya, sistem pemberian nilai pada rapor tidaklah seutuhnya hasil akademis siswa, namun banyak yang mendapatkannya karena ada hubungan tertentu antara guru dan siswa. Misalnya, karena siswa tersebut sudah dekat oleh gurunya atau karena siswanya hanya mengikuti secara sama apa yang diajarkan oleh guru (asymmetric learning) , maka guru tersebut menganggap siswa tersebut rajin, taat, dan patuh. Padahal tidak selamanya yang diajarkan oleh guru tersebut benar. Karena tujuan dari pendikan adalah “memanusiakan manusia” sehingga berpikir merdeka.
 
Kontroversi lainnya adalah praktik-praktik KKN di institusi pendidikan. Tentu saja semua guru dan sekolah menginginkan para siswa dapat lulus dan masuk di PTN yang favorit, sehingga banyak kasus mengenai ”pengkatrolan nilai”. Ditambah lagi apalabila sekolah tersebut memiliki akreditasi yang baik, seperti sekolah-sekolah perkotaan. Manipulasi-manipulasi seperti inilah yang sebenarnya banyak terjadi.
Lalu apakah adil jika hanya para siswa dari sekolah dengan akreditasi A yang harus diprioritaskan? Bagaimana dengan sekolah di wilayah-wilayah tertinggal, yang tidak menutup kemungkinan memiliki putra-putri terbaik bangsa? Padahal, kenyataannya banyak juara Olimpiade Sains Nasional maupun Internasional yang berasal dari wilayah tertinggal.
 
Adil memang selalu abu-abu. Padahal kesetaraan terhadap pendidikan dijunjung tinggi oleh UUD 1945. Sistem seleksi dengan hanya melalui nilai rapor pada akhirnya dinilai tidak cukup baik. Hal ini hanya memberi kesan bahwa pemerintah tidak mau repot terhadap penyeleksian mhasiswa baru. Jika ingin hasil yang lebih baik, alangkah bagusnya jika setelah diterima melalui nilai raport , siswa kemudian dites kembali melalui ujian tertulis untuk mempertanggungjawabkan nilai rapor mereka. Dengan demikian terlihatlah dengan jelas kualitasnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
 
Agung Hermawanto
Mahasiswa Geografi Universitas Indonesia
Staff Kajian KSM Eka Prasetya UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar